Kamis, 01 Oktober 2015

Syari'at Jihad

Berbicara tentang jihad maka tidak lepas dari fighul waqi' (pemahaman realita) yang mengacu pada qowaid fiqhiyyah. Ada banyak syari’at Allah di dalam Islam yang proses penetapannya melalui proses bertahap, tadarruj. Pengharaman khamer misalnya, juga penetapan syari’at jihad. Bahkan risalah yang dibawa oleh Rasul kita, RasululLah Muhammad shallalLaahu ‘alayhi wa sallam sendiri adalah merupakan bentuk akhir yang sempurna dari proses tadriji [bertahap], risalah bagi manusia yang diturunkan Allah kepada para rasul. RasululLah menggambarkan dalam hadits sahihnya bahwa perumpamaan dirinya dengan para nabi sebelumnya adalah seperti sebuah bangunan yang indah dan sempurna, tetapi ada bata yang belum terpasang sehingga tampak kekurangannya, kemudian beliau menegaskan bahwa dirinya adalah bata terakhir yang belum terpasang itu.

Hanya saja, dari keseluruhan tahapan proses pensyari’atan tersebut, yang kemudian berlaku untuk kita -ummat terakhir ini- adalah ketetapan yang terakhir, hukum nihai dari masalah tersebut. Kemudian kita mendekatinya dengan pendekatan istitho’ah [kemampuan] yang ada pada diri kita, atau ummat di zaman kita hidup untuk mengangkat dan melaksanakan syari’at tersebut (dalam hal ini yaitu Syari'at Jihad). Allooh Ta'ala mensyari'atkan Jihad melalui beberapa Tahapan.
Tahapan jihad
Jihad disyari’atkan melalui empat tahapan sebagai berikut:

Pertama : Tahapan larangan untuk berperang dan diperintahkan untuk bersabar menghadapi gangguan dan cercaan dari orang-orang musyrik dengan terus menyebarkan dakwah.
RasululLah shallalLaahu ‘alayhi wa sallam melarang para sahabat beliau untuk memerangi penduduk Makkah pada masa ini. Maka ketika ada sahabat yang berkata kepada beliau, ”Dulu ketika kami dalam keadaan musyrik kami adalah orang-orang yang mulia, namun ketika kami beriman kami menjadi orang-orang yang hina”. Beliau bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi………..” [HR. Nasa’I VI/3, Baihaqi IX/11, dalam Mustadrak II/307 dan beliau berkata sesuai dengan Syarath al-Bukhori namun al-Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi]

Kedua : Dipebolehkannya untuk berperang dan tidak diwajibkan.
Hal ini disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan [berperang] bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. [Al-Hajj: 39]

Ayat ini adalah ayat yang pertama kali turun yang berkaitan dengan peperangan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas. [Diriwayatkan oleh An-Nasa’I VI/2]

Ketiga : Diwajibkan berperang hanya jika kaum muslimin diserang.

وَ قَاتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ الذِيْنَ يُقَاتلُوْنَكُمْ
“Dan berperanglah di jalan Alloh melawan orang-orang yang memerangi kalian”.[Al-Baqoroh: 190]

Keempat : Diwajibkan memerangi seluruh orang musyrik meskipun mereka tidak memerangi kaum muslimin, sampai mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah bagi beberapa golongan yang diperselisihkan para ulama’

Alloh Ta’ala berfirman:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian”. [At-Taubah: 5]

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُون
َ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] pada hari Akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], [yaitu orang-orang] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. [At-Taubah: 29]

Secara ringkas tahapan-tahapan ini terangkum dalam perkataan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, ketika beliau mengatakan,

وَكَانَ مُحَرَّماً ثُمَّ مَأْذُوْناً بِهِ ثُمَّ مَأْمُوْراً بِهِ لِمَنْ بَدَأَهُمْ بِالْقِتَالِ ثُمَّ مَأْمُوْراً بِهِ لِجَمِيْعِ الْمُشْرِكِيْنَ …
“Dan jihad itu diharamkan, kemudian diidzinkan, kemudian diperintahkan melawan orang yang menyerang lebih dahulu, kemudian diperintahkan untuk memerangi seluruh orang-orang musyrik”. [Zaadul Ma’ad II/58]

Ibnu al-Qoyyim berkata, “…..maka keadaan orang kafir setelah turun surat At-Taubah ditetapkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Muharibin [mereka yang berada pada posisi berperang dengan RasululLah],

2. Ahlu ‘Ahdi [orang kafir yang mengikat perjanjian dengan RasululLah]

3. dan Ahlu Dzimmah [orang kafir yang berada di negara Islam, tunduk kepada hukum Islam dan membayar jizyah] .

Kemudian [dalam perkembangannya] Ahlul ‘Ahdi wa ash-Shulhi [orang-orang kafir yang mengikat perjanjian dan perdamaian dengan RasululLah] bergabung ke dalam negara Islam. Maka [setelah itu], orang kafir tinggal dua macam saja yaitu Muharibin dan Ahlu adz-Dzimmah”. [Zaadul Ma’ad III/160]

Para Ulama’ Yang me-mansukh-kan Tahapan-Tahapan Tersebut.
Ibnu al -‘Arobiy berkata, “Firman Alloh yang berbunyi

فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ …….

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu……”[At-Taubah: 5]
Ayat ini menasakh seratus empat belas ayat. [Ahkamul Qur’an karangan Ibnu al-‘Arobiy I/201].

Dan mereka yang mengatakan bahwa ayat ini sebagai nasakh [ayat yang menghapus] adalah: Adl-Dlohak bin Muzahim [Ibnu Katsir IV/55], Ar-Robi’ bin Anas [Al-Baghowi I/168], Mujahid, Abu al-‘Aliyah [Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/191], Al-Hasan ibnu al-Fadl [Al-Qurthubi XIII/73], Ibnu Zaid [Al-Qurthubi II/339], Musa bin ‘Uqbah, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, ‘Ikrimah, Qotadah [Fathul Qodir I/497], Ibnul Jauzi dan ‘Atho’ [Al-Baghowi III/122].

Hal itu juga dikatakan oleh Ibnu Taimiyah [al-Ihtijaj bil Qodar karangan Ibnu Taimyah hal. 36], Asy-Syaukani [Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/275], Al-Qurthubi [Tafsir Al-Qurthubi II/331] dan sekumpulan ulama’ pada berbagai masa. [Ahammiyatul Jihad hal. 147-149].

Bahkan beberapa ulama’ telah menyatakan bahwa mansukh-nya hukum-hukum jihad sebelum hukum yang terakhir adalah merupakan ijma’ para ulama’. Shodiq Hasan Al-Bukhori mengatakan: “Adapun riwayat tentang berdamai dan meninggalkan orang-orang kafir apabila mereka tidak memerangi, hal itu telah mansukh atas ijma’ [kesepakatan] seluruh kaum muslimin”. [Ahammiyatul Jihad hal. 147-149]

Ibnu Jarir Ath-Thobariy ketika menafsirkan ayat :

قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ الله
ِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah……” [Al-Jatsiyah: 14]

Beliau berkata, ”Ayat ini telah mansukh dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik sesuai dengan ijma’ [kesepakatan] ahlu at-takwil atas hal itu”. [Tafsir Ath-Thobariy XXV/144, Darul Fikr, Beirut sebagaimana dinukil dalam kitab Marohilu Tasyri’ al-Jihad].

Abdul Akhir Hammad menukil perkataan Asy-Syaukani dalam kitab As-Sail al-Jarror V/519:
“Menyerang orang-orang kafir dan ahli kitab serta membawa mereka masuk kepada agama Islam atau membayar jizyah atau bunuh, hal ini merupakan perkara yang sangat jelas dalam agama … Adapun tentang meninggalkan dan membiarkan mereka jika mereka tidak memerangi, hal ini adalah sudah mansukh secara ijma’”. [Tahdzib Syarh al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 360-361].

Para Ulama’ yang Tidak Me-mansukh-kan Tahapan-Tahapan itu.

Namun demikian ada sebagian mu’ashirin yang menyatakan bahwa hukum-hukum jihad dan tahapan-tahapan penetapan syari’atnya tidaklah mansukh, tetapi semua hukumnya adalah muhkamah yang wajib untuk kita laksanakan dalam keadaan dan kondisinya sesuai dengan keadaan dan kondisi RasululLah shallalLaahu ‘alayhi wa sallam. Di antara mereka adalah Muhammad Rosyid Ridlo dalam kitabnya Tafsir Al-Manar X/166 dan Az-Zarqoni dalam Manahilul ‘Irfan II/150 sebagai mana yang dikatakan oleh pengarang kitab Marohilu Tasyri’ al-Jihad.

Kemudian dari pemahaman ini sebagian mu’ashirin berpendapat bahwa kenyataan kita pada hari ini adalah seperti keadaan kaum muslimin di masa Makkah, sehingga kita harus bersabar dengan ulah orang-orang kafir dan tidak boleh melakukan peperangan. Dalam hal ini tidak ada yang mereka ikuti kecuali pendapat Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan fii ‘Uluum al-Qur’an II/41-42 dan As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqon fii ‘uluum al-Qur’an III/66. [Marohilu Tasyri’ al-Jihad]

Berikut inilah pernyataan Az-Zarkasyi yang menyatakan bahwasanya tahapan-tahapan jihad tidak mansukh, akan tetapi tahapan-tahapan tersebut tetap dilaksanakan sesuai dengan keadaan pada waktu tahapan tersebut disyariatkan. Dan beliau mencela terhadap orang yang menyatakan bahwa tahapan-tahapan tersebut telah mansukh :
”Dan sebagian ulama’ membagi nasakh itu menjadi tiga macam:……
ketiga : sesuatu diperintahkan dikarenakan oleh suatu sebab, lalu sebab itu hilang. Seperti ketika dalam keadaan lemah dan berjumlah sedikit diperintahkan untuk bersabar dan memaafkan orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhir dengan tidak melakukan amar ma’ruf, nahi munkar, jihad fii sabiilillah dan yang lain, kemudian di-nasakh dengan perintah untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan yang lainnya.
Sebenarnya ini bukanlah nasakh, akan tetapi nasii’ [perintah untuk meninggalkan] sebagaimana yang difirmankan Alloh: [ أو ننسها ] sedangkan mansa’-nya [yang diperintahkan untuk ditinggalkan] adalah perintah perang sampai kaum muslimin menjadi kuat.

Dan ketika dalam keadaan lemah, hukum yang berlaku adalah wajib sabar menanggung gangguan. Dengan demikian, maka jelaslah kelemahan pendapat sebagian dari para mufassirin pada ayat yang memberikan keringanan bahwasanya ayat tersebut telah di-mansukh oleh ayatus-saif [secara bahasa artinya ayat-ayat pedang, maksudnya ayat-ayat yang memerintahkan untuk berperang], padahal sebenarnya tidaklah mansukh akan tetapi mansa’ [keadaan], yang berarti suatu perintah yang dikarenakan suatu sebab tertentu pada suatu masa yang mengharuskan untuk memberlakukan hukum tersebut kemudian berganti kepada hukum yang lain kerena penyebabnya telah berubah. Ini bukanlah nasakh, karena nasakh adalah menghapuskan sebuah hukum sehingga hukum tersebut tidak boleh dilaksanakan selamanya”. [Al-Burhan karangan Az-Zarkasyi II/37]
Kesimpulan:

Ibnu Taimiyah berkata,

“Bila kaum musimin yang berada disuatu tempat atau pada suatu zaman lemah hendaklah mereka beramal dengan ayat Shabar dan berpaling dari musuh-musuh Allah dan Rosul_Nya, Akan tetapi bagi mereka yang memiliki kekuatan hendaklah mereka beramal dengan ayat Qital” [As-Shorim al-Maslul, Ibnu Taimiyah 221]
Beliau telah memberikan penjelasan yang sangat baik, yakni mengambil jalan tengah dari perbedaan. Namun demikian, jika ada yang berkata bahwa ketika dalam keadaan lemah kita harus kembali secara mutlak pada hukum larangan untuk berperang bahkan dilarang juga untuk melakukan i’dad al-quwwah, apalagi mengatakan bahwa melakukan i’dad berarti mengundang para thoghut untuk memerangi ummat Islam, pendapat ini bukan merupakan salah satu dari pendapat yang dijelaskan di atas. Ini pendapat me-Nihil-kan jihad yang tidak dikenal sepanjang sejarah kehidupan ummat Islam.

Walloohu Ta'ala A'lam

Sumber : Maktab Kajian Tauhid

Musuh Dakwah Tauhid

KAMI KATAKAN :

Musuh - Musuh Kami Bermacam - Macam :

PERTAMA:

Orang Yang Mengetahui Tauhid Adalah Dinullah Dan Rasul-Nya Yang Kami Nampakkan Untuk Manusia. Juga Dia Mengakui Bahwa Keyakinan - Keyakinan Terhadap Batu, Pohon, Dan Manusia Ini – Yang Merupakan Din Mayoritas Manusia – Adalah Syirik ( Menyekutukan Sesuatu ) Dengan Allah.

Allah Mengutus Rasul- Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Untuk Melarangnya Dan Memerangi Para Pelakunya Agar Semua Din Untuk Allah. Meskipun Demikian, Dia Tidak Menoleh Sedikitpun Pada Tauhid, Tidak Mempelajarinya, Tidak Masuk Padanya, Dan Tidak Meninggalkan Syirik. Maka Dia Kafir.

Kami Memeranginya Karena Kekafirannya, Karena Dia Mengetahui Dinurrasul, Lalu Tidak Mengikutinya. Dia Mengetahui Syirik Lalu Tidak Meninggalk annya. Meskipun Dia Tidak Membenci Dinurrasul Dan Orang Yang Memasukinya, Tidak Memuji - Muji Syirik Dan Tidak Menghias - Hiasinya Untuk Manusia.

KEDUA:

Orang Yang Mengetahui Tauhid, Tapi Nampak Jelas Dia Mencaci Dinurrasul Meskipun Dia Mengaku Beramal Dengannya.

Nampak Jelas Dia Memuji - Muji Orang Yang Beribadah Pada Yusuf, Al - Asyqor, Abu Ali, Dan Al - Khidhir Dari Golongan Penduduk Kuwait.
Dia Mengutamakan Mereka Daripada Orang Yang Mentauhidkan Allah Dan Meninggalkan Syirik.

Ini Lebih Besar Dari Yang Pertama. Allah Ta’ala Berfirman Tentang Orang Ini :

"Ketika Datang Pada Mereka Apa Yang Mereka Ketahui, Mereka Kafir Padanya. Karena Itu Laknat Allah Atas Orang - Orang Kafir". ( QS. Al - Baqoroh 2 : 89 ).

"Jika Mereka Merusak Sumpah ( Janji )nya Sesudah Mereka Berjanji Dan Mereka Mencerca Agamamu, Maka Perangilah Pemimpin - Pemimpin Kekafiran Itu, Karena Sesungguhnya Mereka Itu Adalah Orang - Orang ( Yang Tidak Dapat Dipegang ) Janjinya, Agar Supaya Mereka Berhenti".
( Q.S. At-Taubah:12 )

KETIGA:

Orang Yang Mengetahui Tauhid, Mencintainya, Dan Mengikutinya Serta Mengetahui Syirik Dan Meninggalkannya.

Akan Tetapi Dia Membenci Orang Yang Masuk Pada Tauhid Dan Mencintai Orang Yang Tetap Di Atas Syirik. Maka Orang Ini Juga Kafir. Firman Allah

"Yang Demikian Itu Adalah Karena Sesungguhnya Mereka Benci Kepada Apa Yang Diturunkan Allah ( Al - Qur'an ) Lalu Allah Menghapuskan ( Pahala - Pahala ) Amal - Amal Mereka".
( Q.S.Muhammad:9 )

KEEMPAT:

Orang Yang Selamat Dari Semua Ini, Tetapi Penduduk Negerinya Mengumumkan Permusuhan Pada Ahlut Tauhid, Mengikuti Ahlusy Syirik, Dan Melangkahkan Kaki Memerangi Mereka.

Dia Beralasan Bahwa Meninggalkan Negerinya Terasa Berat Baginya Sehingga Dia Memerangi Ahlut Tauhid Bersama Penduduk Negerinya. Dia Berjihad Dengan Harta Dan Jiwanya.
Maka Orang Ini Juga Kafir.
Kalau Mereka Menyuruhnya Meninggalkan Puasa Ramadhan Dan Tidak Mungkin Baginya Untuk Berpuasa Kecuali Dengan Meninggalkan Mereka, Maka Harus Dia Lakukan. Kalau Mereka Menyuruhnya Untuk Menikahi Istri Bapaknya Dan Tidak Mungkin Baginya Menolak Hal Itu Kecuali Dengan Meninggalkan Mereka, Maka Harus Dia Lakukan.

Kebersamaannya Dalam Jihad Bersama Mereka Dengan Jiwa Dan Hartanya, Padahal Mereka Bertujuan Dengan Jihadnya Itu Untuk Memotong Agama Allah Dan Rasul-Nya, Lebih Besar Dari Sebelumnya, Lebih Besar Dan Lebih Besar ….

Maka Ini Juga Kafir. Dia Termasuk Orang Yang Allah Firmankan,

" Kelak Kalian Akan Dapati ( Golongan - Golongan ) Yang Lain Yang Bermaksud Supaya Mereka Aman Dari Kalian Dan Aman ( Pula ) Dari Kaumnya. Setiap Mereka Diajak Kembali Kepada Fitnah ( Syirik ), Merekapun Terjun Ke Dalamnya. Karena Itu Jika Mereka Tidak Membiarkan Kalian Dan ( Tidak ) Mau Mengemukakan Perdamaian Kepada Kalian, Serta ( Tidak ) Menahan Tangan Mereka ( Dari Memerangi Kalian ), Maka Tawanlah Mereka Dan Bunuhlah Mereka Dimanapun Kalian Temui Mereka. Mereka Adalah Orang - Orang Yang Kami Berikan Kepada Kalian Alasan Yang Nyata ( Untuk Menawan Dan Membunuh ) Mereka. ( QS. An - Nisa’ 4 : 91 ).

Adapun Kabar Dan Tuduhan Dusta Seperti Ucapan Mereka, :
" Sesungguhnya Kami Mengkafirkan Dengan Umum, Kami Mewajibkan Hijrah Kepada Kami Bagi Siapa Saja Yang Mampu Menampakkan Dinnya, Kami Mengkafirk an Orang Yang Tidak Kafir Dan Tidak Ikut Berperang ( Bersama Kami ).

Tuduhan Seperti Ini Dan Yang Lebih Dari Itu, Semua Ini Termasuk Kabar Dan Tuduhan Dusta Yang Dengannya Mereka Menghalang - Halangi Manusia Dari Dinullah Dan Rasul-Nya.

Jika Kami Tidak Mengkafirkan(1) Orang Yang Beribadah Pada Berhala Yang Ada Di Atas Abdul Qodir, Berhala Yang Ada Di Atas Kubur Ahmad Al - Badawy, Dan Yang Semacamnya Karena Kebodohan Mereka Dan Tidak Adanya Orang Yang Mengingatkan Mereka, Lalu Bagaimana Kami Mengkafirkan Orang Yang Tidak Menyekutukan Sesuatu Dengan Allah Jika Tidak Berhijrah Kepada Kami Atau Tidak Kufur Dan Berperang ( Bersama Kami ) ?!

 "Maha Suci Engkau Ya Tuhan Kami "

Ini Adalah Dusta Yang Besar.

Tapi Kami Mengkafirkan Empat Macam Orang Yang Telah Disebutkan Di Atas, Karena Permusuhan Mereka Terhadap Allah Dan Rasul- Nya. Semoga Allah Merahmati Seseorang Yang Melihat Dirinya Dan Mengetahui Bahwa Dia Akan Berjumpa Dengan Allah Yang Disisi-Nya Ada Surga Dan Neraka.

ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ

 ( Ad - Duror As - Saniyah Juz 1 Halaman 102 - 104 ).
 
Catatan Kaki Dari Penerjemah :

(1) Yang Dimaksud “ Mengkafirkan ” Dalam Ucapan Beliau Ini Adalah Mengkafirkan Ba’da Dakwah Atau Ba’da Hujjah,

Yaitu Mengkafirkan Sekaligus Mempersaksikan Baginya Siksa Di Neraka. Syaikh Ali Khudhair Hafizhohullah Berkata, : “ Karena Pengkafiran erat Kaitannya Dengan Hujjah, Sementara Tidak Diketahui Apakah Mereka Semua Sudah Sampai Hujjah Atau Belum. ” Selesai
( Al - Mutammimah Halaman 16 ).

Namun Demikian Mereka Tidak Disebut Muslim, Apalagi Muwahhid. Syaikh Muhammad Bin Abdilwahhab Rahimahullah Berkata, :

"Macam Orang - Orang Musyrik Ini Dan Yang Serupa Dengannya Dari Kalangan Orang - Orang Yang Beribadah Pada Para Wali Dan Orang - Orang Sholeh, Kami Memandang Bahwa Mereka Itu Musyrik Dan Kami Memandang Mereka Kafir Bila Hujjah Risalah Telah Tegak Pada Mereka." Selesai ( Ad - Duror As - Saniyah Juz 1 Halaman 522 ).

Dua Putra Syaikh Muhammad Bin Abdilwahhab Dan Syaikh Hamd Bin Nashir Alu Ma’mar Rahimahumullah Berkata, :

“Jika Dia Melakukan Kekufuran Dan Syirik Karena Kebodohannya Atau Tidak Ada Orang Yang Mengingatkannya Maka Kami Tidak Menghukuminya Kafir Sampai Tegak Hujjah Padanya, Tapi Kami Tidak Menghukumi nya Muslim".

Selesai ( Ad - Duror As - Saniyah Juz 10 Halaman 136 Dalam Ashlu Dinil Islam Halaman 9 ).

Syaikh Abdullathif Bin Abdirrahman Bin Hasan Bin Muhammad Bin Abdilwahhab Rahimahumullah Berkata, :

“Barangsiapa Yang Melakukan Syirik Maka Dia Telah Meninggalkan Tauhid Karena Tauhid Dan Syirik Adalah Dua Perkara Yang Saling Bertentangan Yang Tidak Bisa Berkumpul Dan Dua Perkara Yang Saling Membatalkan Yang Tidak Bisa Berkumpul Dan Terangkat Bersama - Sama. ” Selesai ( Al - Minhaj Halaman 12 ).

KESIMPULAN:,
Sebutan Bagi Orang Yang Melakukan Syirik Akbar Adalah MUSYRIK, Meskipun Dia Mengucapkan Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, Haji, Dan Mengaku Dirinya Muslim. Disebut Kafir Jika Sudah Tegak Hujjah Padanya.

Wallahu A’lam. ~~~~~~~~~~~~~~~~~


Sumber : Maktab Kajian Tauhid

Selasa, 29 September 2015

THAGHUT

Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu, bahwa kewajiban pertama yang Allah perintahkan kepada bani Adam adalah kufur kepada Thâghût dan iman kepada Allah, Allah berfirman: {“Dan sungguh telah kami utus kepada setiap umat itu seorang rasul (untuk menyeru) sembahlah Allah saja dan jauhilah Thâghût” } [QS. An-Nahl: 36].

Dan makna Thâghût sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah adalah: “Segala sesuatu yang dengannya hamba melampaui batas, baik itu sesembahan, atau yang diikuti, atau yang ditaati sehingga Thâghût adalah setiap kaum yang dia berhukum kepadanya se-lain Allah dan Rasul-Nya, atau yang diikuti tanpa bashirah dari Allah, atau yang ditaati tanpa diketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah, maka para Thâghût-Thâghût ini jika engkau memperhatikannya dan memperhatikan keadaan manusia yang ada di sekelilingnya yang ber-samanya, engkau lihat bahwa kebanyakan adalah mereka (memalingkan) dari ibadah kepada Allah menjadi ibadah kepada Thâghût, dari berhukum kepada Allah dan kepada Rasul-Nya menjadi ber-hukum kepada Thâghût, dan dari menaati-Nya dan mengikuti Rasul-Nya menjadi menaati Thâghût dan mengikutinya” [I’lamu al-Muwaqqi’in]
 
Dan pemimpin para Thâghût ada lima:
 
Pertama: Setan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Allah, dalilnya adalah firman Al-lah Ta’ala; {Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu ti-dak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu} [QS. Yasin: 60]
 
Kedua: Hakim jahat yang merubah hukum-hukum Allah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala; {Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada thaghμt, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thâghût itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya} [QS. An-Nisa: 60]
 
Ketiga: Yang menghukumi dengan selain apa yang telah Allah turunkan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: {Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.} [QS. Al-Maidah: 44]
 
Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim – rahimahullah – berkata: “Seperti orang yang memutuskan hukum dengan hukum jahiliah, atau hukum Negara, bahkan semua yang berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan , baik itu berupa undang-undang atau sesuatu yang dibuat-buat dan itu tidak berasal dari syariat, atau dengan berbuat jahat di dalam hukum maka dia adalah Thâghût dan termasuk Thâghût terbesar”.
 
Keempat: Yang mengaku memiliki ilmu ghaib selain Allah, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: {Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.} [QS. Al-Jin: 26-27].
Dan juga firman-Nya {Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengeta-hui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya, tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata} [QS. Al-An’am: 59]
 
Kelima: Yang diibadahi selain Allah Ta’ala dan dia ridha dengan peribadahan itu. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: {Dan barangsiapa di antara mereka berkata, “Sungguh, aku adalah tu-han selain Allah,” maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam. Demikianlah Kami memberi-kan balasan kepada orang-orang yang zalim} [QS. Al-Anbiya: 29]
 
Maka ketahuilah bahwa manusia tidak menjadi seorang yang beriman kepada Allah kecuali jika dia kufur kepada Thâghût, dan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: {Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar (Ar-Rusyd) dengan jalan yang sesat (Al-Ghay). Maka barangsiapa yang kufur kepada Thâghût dan beri-man kepada Allah maka dia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat yang tidak akan terpu-tus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui}. [QS. Al-Baqarah: 256].
 
Ar-Rusydu adalah Dien Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, dan al-Ghay adalah dien Abu Jahal, dan buhul tali yang kuat adalah Syahadat laa ilaaha illallah, yang didalamnya mengandung makna nafyu (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Peniadaan akan seluruh jenis ibadah kepada se-lain Allah Ta’ala, dan menetapkan seluruh jenis ibadah hanya untuk Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
 
Syaikh Abdullah Abu Bathin rahimahullah berkata: (Thâghût mencakup seluruh yang diibadahi selain Allah, seluruh ketua kesesatan, yang mengajak kepada kebathilan dan memperbagusnya, dan mencakup juga: semua yang ditunjuk oleh manusia untuk menghukumi di antara mereka den-gan hukum-hukum jahiliah yang kontradiksi dengan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Juga mencakup: para dukun, penyihir, penunggu berhala, yang menyeru untuk beribadah kepada pen-ghuni kubur dan sebagainya, yang mengarang-ngarang cerita dusta sesat kepada orang-orang bodoh, yang membuat seolah penghuni kubur dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan cara bertawajjuh dan menuju kepadanya, dan bahwa dia telah melakukan ini dan itu, yang merupakan kedustaan dan termasuk perbuatan setan, untuk membuat manusia samar dan mengira bahwa penduduk kubur dan selainnya dapat memenuhi kebutuhan orang yang menghadapnya, sehingga mereka terjatuh ke dalam syirik akbar dan pengikutnya. Dan pokok ini semua ini adalah, yang ter-besar dan paling utama; setan, dia adalah Thâghût terbesar) [Ad-Durar As-Saniyyah]
 
Dan di antara jenis Thâghût yang ada pada hari ini, yang wajib dikufuri dan hanya Allah yang wajib diimani adalah Majelis Perwakilan dan Parlemen, karena majlis perwakilan khususnya de-wan perundang-undangan tugas utamanya adalah membuat undang-undang dan peraturan menyaingi Allah, tugas utama parlemen adalah membuat peraturan untuk manusia, karena itu mereka disebut dewan undang-undang, Allah berfirman: {Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan se-kiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapatkan azab yang san-gat pedih.} [QS. Asy-Syura: 21]
 
Dan di antara jenis Thâghût yang ada pada hari ini, yang wajib dikufuri dan hanya Allah yang wajib diimani, adalah PBB, Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Thâghût, kenapa? Karena ketetapan-ketetapan PBB mengharuskan kekufuran dan berjanji setia dengannya, di antara
ketetapan PBB yang mengharuskan kekufuran adalah mengharuskan kepada para anggotanya un-tuk berhukum kepada Mahkamah Internasional. Allah berfirman; {Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang ditu-runkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thâghût, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thâghût itu} [QS. An-Nisa: 60]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata: “Dan barangsiapa yang mencari hukum terhadap se-terunya kepada selain Allah dan Rasul-Nya maka dia telah berhukum kepada Thâghût, dan padahal dia telah diperintahkan untuk kufur kepada Thâghût, dan tidaklah seorang hamba kufur kepada Thâghût hingga dia menjadikan hukum hanya kepada Allah saja”.
 
Sifat kufur kepada Thâghût
 
Syaikh Muhammad At-Tamimi berkata: “Engkau mengingkari batilnya ibadah kepada selain Al-lah, engkau meninggalkannya dan membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhinya”. Allah berfirman; {Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja,” [QS. Al-Mumtahanah: 4] dan Allah berfirman; “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thâghût”}. [QS. An-Nahl: 36]. 

Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullah berkata; “Allah mengabarkan bahwa seluruh Rasul diutus untuk menjauhi Thâghût, maka siapa yang tidak menjauhinya maka dia telah menyelisihi seluruh rasul, Allah berfirman; {Dan orang-orang yang menjauhi Thâghût (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas menda-pat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku} [QS. Az-Zumar: 17]. Maka di dalam ayat ini terdapat hujjah atas wajibnya menjauhi Thâghût, dan maksud dari menjauhinya adalah membencinya, memusuhinya dengan hati, mencela dan menjelek-jelekkannya dengan lisan, dan menghilangkannya dengan tangan jika dia mampu, kemudian men-inggalkannya, maka siapa yang mengaku menjauhi Thâghût tapi tidak melakukan hal itu maka dia tidak jujur”.
 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita untuk tidak menjadi hakim-hakim kaum muslimin yang menyebarkan kezhaliman dan kerusakan, beliau bersabda; “Akan ada di akhir zaman pemimpin-pemimpin zhalim, menteri-menteri fasiq dan hakim-hakim pengkhianat dan ulama-ulama pendusta, maka siapa yang menemui zaman itu dari kalian maka janganlah kalian menjadi penarik pajaknya, pembantunya, dan polisinya” [diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam Mu’jam Al-Kabir, hadits ini shahih dengan jalur-jalurnya] dan sesungguhnya menjauhi memberi pertolongan kepada pemerintah yang menampakkan kekufuran bawwah dan permusu-han kepada agama Allah adalah hal yang lebih utama, dan Nabi Shallallahu alahi wa sallam ber-sabda; “Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa setelahku nanti akan terdapat pemimpin-pemimpin yang siapa menemuinya dan membenarkan kedustaannya dan menolong kezhalimannya maka dia bukan bagian dariku dan aku bukan bagian darinya dan dia tidak akan menemuiku di telaga, dan barangsiapa yang tidak menemuinya, tidak menolong kezhalimannya dan tidak membenarkan kedustaannya maka dia bagian dariku dan aku bagian darinya dan dia akan menemuiku di telaga kelak”. [shahih Tirmidzi].

Dan segala puji hanya bagi Allooh

Sumber : Maktabah Al Himmaah