Berbicara tentang jihad maka tidak lepas dari fighul waqi' (pemahaman realita) yang mengacu pada qowaid fiqhiyyah. Ada banyak syari’at Allah di dalam Islam yang proses penetapannya melalui proses bertahap, tadarruj. Pengharaman khamer misalnya, juga penetapan syari’at jihad. Bahkan risalah yang dibawa oleh Rasul kita, RasululLah Muhammad shallalLaahu ‘alayhi wa sallam sendiri adalah merupakan bentuk akhir yang sempurna dari proses tadriji [bertahap], risalah bagi manusia yang diturunkan Allah kepada para rasul. RasululLah menggambarkan dalam hadits sahihnya bahwa perumpamaan dirinya dengan para nabi sebelumnya adalah seperti sebuah bangunan yang indah dan sempurna, tetapi ada bata yang belum terpasang sehingga tampak kekurangannya, kemudian beliau menegaskan bahwa dirinya adalah bata terakhir yang belum terpasang itu.
Hanya saja, dari keseluruhan tahapan proses pensyari’atan tersebut, yang kemudian berlaku untuk kita -ummat terakhir ini- adalah ketetapan yang terakhir, hukum nihai dari masalah tersebut. Kemudian kita mendekatinya dengan pendekatan istitho’ah [kemampuan] yang ada pada diri kita, atau ummat di zaman kita hidup untuk mengangkat dan melaksanakan syari’at tersebut (dalam hal ini yaitu Syari'at Jihad). Allooh Ta'ala mensyari'atkan Jihad melalui beberapa Tahapan.
Tahapan jihad
Jihad disyari’atkan melalui empat tahapan sebagai berikut:
Pertama : Tahapan larangan untuk berperang dan diperintahkan untuk bersabar menghadapi gangguan dan cercaan dari orang-orang musyrik dengan terus menyebarkan dakwah.
RasululLah shallalLaahu ‘alayhi wa sallam melarang para sahabat beliau untuk memerangi penduduk Makkah pada masa ini. Maka ketika ada sahabat yang berkata kepada beliau, ”Dulu ketika kami dalam keadaan musyrik kami adalah orang-orang yang mulia, namun ketika kami beriman kami menjadi orang-orang yang hina”. Beliau bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi………..” [HR. Nasa’I VI/3, Baihaqi IX/11, dalam Mustadrak II/307 dan beliau berkata sesuai dengan Syarath al-Bukhori namun al-Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi]
Kedua : Dipebolehkannya untuk berperang dan tidak diwajibkan.
Hal ini disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi :
Pertama : Tahapan larangan untuk berperang dan diperintahkan untuk bersabar menghadapi gangguan dan cercaan dari orang-orang musyrik dengan terus menyebarkan dakwah.
RasululLah shallalLaahu ‘alayhi wa sallam melarang para sahabat beliau untuk memerangi penduduk Makkah pada masa ini. Maka ketika ada sahabat yang berkata kepada beliau, ”Dulu ketika kami dalam keadaan musyrik kami adalah orang-orang yang mulia, namun ketika kami beriman kami menjadi orang-orang yang hina”. Beliau bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memaafkan, maka janganlah kalian memerangi………..” [HR. Nasa’I VI/3, Baihaqi IX/11, dalam Mustadrak II/307 dan beliau berkata sesuai dengan Syarath al-Bukhori namun al-Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya, dan hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi]
Kedua : Dipebolehkannya untuk berperang dan tidak diwajibkan.
Hal ini disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi :
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan [berperang] bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. [Al-Hajj: 39]
Ayat ini adalah ayat yang pertama kali turun yang berkaitan dengan peperangan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas. [Diriwayatkan oleh An-Nasa’I VI/2]
Ketiga : Diwajibkan berperang hanya jika kaum muslimin diserang.
Ayat ini adalah ayat yang pertama kali turun yang berkaitan dengan peperangan sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas. [Diriwayatkan oleh An-Nasa’I VI/2]
Ketiga : Diwajibkan berperang hanya jika kaum muslimin diserang.
وَ قَاتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ الذِيْنَ يُقَاتلُوْنَكُمْ
“Dan berperanglah di jalan Alloh melawan orang-orang yang memerangi kalian”.[Al-Baqoroh: 190]
Keempat : Diwajibkan memerangi seluruh orang musyrik meskipun mereka tidak memerangi kaum muslimin, sampai mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah bagi beberapa golongan yang diperselisihkan para ulama’
Alloh Ta’ala berfirman:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian”. [At-Taubah: 5]
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُون
َ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] pada hari Akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], [yaitu orang-orang] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. [At-Taubah: 29]
Keempat : Diwajibkan memerangi seluruh orang musyrik meskipun mereka tidak memerangi kaum muslimin, sampai mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah bagi beberapa golongan yang diperselisihkan para ulama’
Alloh Ta’ala berfirman:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian”. [At-Taubah: 5]
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَلاَيُحَرِّمُونَ مَاحَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَيَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُون
َ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] pada hari Akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], [yaitu orang-orang] yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. [At-Taubah: 29]
Secara ringkas tahapan-tahapan ini terangkum dalam perkataan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, ketika beliau mengatakan,
وَكَانَ مُحَرَّماً ثُمَّ مَأْذُوْناً بِهِ ثُمَّ مَأْمُوْراً بِهِ لِمَنْ بَدَأَهُمْ بِالْقِتَالِ ثُمَّ مَأْمُوْراً بِهِ لِجَمِيْعِ الْمُشْرِكِيْنَ …
وَكَانَ مُحَرَّماً ثُمَّ مَأْذُوْناً بِهِ ثُمَّ مَأْمُوْراً بِهِ لِمَنْ بَدَأَهُمْ بِالْقِتَالِ ثُمَّ مَأْمُوْراً بِهِ لِجَمِيْعِ الْمُشْرِكِيْنَ …
“Dan jihad itu diharamkan, kemudian diidzinkan, kemudian diperintahkan melawan orang yang menyerang lebih dahulu, kemudian diperintahkan untuk memerangi seluruh orang-orang musyrik”. [Zaadul Ma’ad II/58]
Ibnu al-Qoyyim berkata, “…..maka keadaan orang kafir setelah turun surat At-Taubah ditetapkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Muharibin [mereka yang berada pada posisi berperang dengan RasululLah],
2. Ahlu ‘Ahdi [orang kafir yang mengikat perjanjian dengan RasululLah]
3. dan Ahlu Dzimmah [orang kafir yang berada di negara Islam, tunduk kepada hukum Islam dan membayar jizyah] .
Kemudian [dalam perkembangannya] Ahlul ‘Ahdi wa ash-Shulhi [orang-orang kafir yang mengikat perjanjian dan perdamaian dengan RasululLah] bergabung ke dalam negara Islam. Maka [setelah itu], orang kafir tinggal dua macam saja yaitu Muharibin dan Ahlu adz-Dzimmah”. [Zaadul Ma’ad III/160]
Para Ulama’ Yang me-mansukh-kan Tahapan-Tahapan Tersebut.
Ibnu al -‘Arobiy berkata, “Firman Alloh yang berbunyi
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ …….
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu……”[At-Taubah: 5]
Ayat ini menasakh seratus empat belas ayat. [Ahkamul Qur’an karangan Ibnu al-‘Arobiy I/201].
Dan mereka yang mengatakan bahwa ayat ini sebagai nasakh [ayat yang menghapus] adalah: Adl-Dlohak bin Muzahim [Ibnu Katsir IV/55], Ar-Robi’ bin Anas [Al-Baghowi I/168], Mujahid, Abu al-‘Aliyah [Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/191], Al-Hasan ibnu al-Fadl [Al-Qurthubi XIII/73], Ibnu Zaid [Al-Qurthubi II/339], Musa bin ‘Uqbah, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, ‘Ikrimah, Qotadah [Fathul Qodir I/497], Ibnul Jauzi dan ‘Atho’ [Al-Baghowi III/122].
Hal itu juga dikatakan oleh Ibnu Taimiyah [al-Ihtijaj bil Qodar karangan Ibnu Taimyah hal. 36], Asy-Syaukani [Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/275], Al-Qurthubi [Tafsir Al-Qurthubi II/331] dan sekumpulan ulama’ pada berbagai masa. [Ahammiyatul Jihad hal. 147-149].
Bahkan beberapa ulama’ telah menyatakan bahwa mansukh-nya hukum-hukum jihad sebelum hukum yang terakhir adalah merupakan ijma’ para ulama’. Shodiq Hasan Al-Bukhori mengatakan: “Adapun riwayat tentang berdamai dan meninggalkan orang-orang kafir apabila mereka tidak memerangi, hal itu telah mansukh atas ijma’ [kesepakatan] seluruh kaum muslimin”. [Ahammiyatul Jihad hal. 147-149]
Ibnu Jarir Ath-Thobariy ketika menafsirkan ayat :
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ الله
ِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah……” [Al-Jatsiyah: 14]
Beliau berkata, ”Ayat ini telah mansukh dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik sesuai dengan ijma’ [kesepakatan] ahlu at-takwil atas hal itu”. [Tafsir Ath-Thobariy XXV/144, Darul Fikr, Beirut sebagaimana dinukil dalam kitab Marohilu Tasyri’ al-Jihad].
Abdul Akhir Hammad menukil perkataan Asy-Syaukani dalam kitab As-Sail al-Jarror V/519:
“Menyerang orang-orang kafir dan ahli kitab serta membawa mereka masuk kepada agama Islam atau membayar jizyah atau bunuh, hal ini merupakan perkara yang sangat jelas dalam agama … Adapun tentang meninggalkan dan membiarkan mereka jika mereka tidak memerangi, hal ini adalah sudah mansukh secara ijma’”. [Tahdzib Syarh al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 360-361].
Para Ulama’ yang Tidak Me-mansukh-kan Tahapan-Tahapan itu.
Namun demikian ada sebagian mu’ashirin yang menyatakan bahwa hukum-hukum jihad dan tahapan-tahapan penetapan syari’atnya tidaklah mansukh, tetapi semua hukumnya adalah muhkamah yang wajib untuk kita laksanakan dalam keadaan dan kondisinya sesuai dengan keadaan dan kondisi RasululLah shallalLaahu ‘alayhi wa sallam. Di antara mereka adalah Muhammad Rosyid Ridlo dalam kitabnya Tafsir Al-Manar X/166 dan Az-Zarqoni dalam Manahilul ‘Irfan II/150 sebagai mana yang dikatakan oleh pengarang kitab Marohilu Tasyri’ al-Jihad.
Kemudian dari pemahaman ini sebagian mu’ashirin berpendapat bahwa kenyataan kita pada hari ini adalah seperti keadaan kaum muslimin di masa Makkah, sehingga kita harus bersabar dengan ulah orang-orang kafir dan tidak boleh melakukan peperangan. Dalam hal ini tidak ada yang mereka ikuti kecuali pendapat Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan fii ‘Uluum al-Qur’an II/41-42 dan As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqon fii ‘uluum al-Qur’an III/66. [Marohilu Tasyri’ al-Jihad]
Berikut inilah pernyataan Az-Zarkasyi yang menyatakan bahwasanya tahapan-tahapan jihad tidak mansukh, akan tetapi tahapan-tahapan tersebut tetap dilaksanakan sesuai dengan keadaan pada waktu tahapan tersebut disyariatkan. Dan beliau mencela terhadap orang yang menyatakan bahwa tahapan-tahapan tersebut telah mansukh :
Ibnu al-Qoyyim berkata, “…..maka keadaan orang kafir setelah turun surat At-Taubah ditetapkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Muharibin [mereka yang berada pada posisi berperang dengan RasululLah],
2. Ahlu ‘Ahdi [orang kafir yang mengikat perjanjian dengan RasululLah]
3. dan Ahlu Dzimmah [orang kafir yang berada di negara Islam, tunduk kepada hukum Islam dan membayar jizyah] .
Kemudian [dalam perkembangannya] Ahlul ‘Ahdi wa ash-Shulhi [orang-orang kafir yang mengikat perjanjian dan perdamaian dengan RasululLah] bergabung ke dalam negara Islam. Maka [setelah itu], orang kafir tinggal dua macam saja yaitu Muharibin dan Ahlu adz-Dzimmah”. [Zaadul Ma’ad III/160]
Para Ulama’ Yang me-mansukh-kan Tahapan-Tahapan Tersebut.
Ibnu al -‘Arobiy berkata, “Firman Alloh yang berbunyi
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ …….
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu……”[At-Taubah: 5]
Ayat ini menasakh seratus empat belas ayat. [Ahkamul Qur’an karangan Ibnu al-‘Arobiy I/201].
Dan mereka yang mengatakan bahwa ayat ini sebagai nasakh [ayat yang menghapus] adalah: Adl-Dlohak bin Muzahim [Ibnu Katsir IV/55], Ar-Robi’ bin Anas [Al-Baghowi I/168], Mujahid, Abu al-‘Aliyah [Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/191], Al-Hasan ibnu al-Fadl [Al-Qurthubi XIII/73], Ibnu Zaid [Al-Qurthubi II/339], Musa bin ‘Uqbah, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, ‘Ikrimah, Qotadah [Fathul Qodir I/497], Ibnul Jauzi dan ‘Atho’ [Al-Baghowi III/122].
Hal itu juga dikatakan oleh Ibnu Taimiyah [al-Ihtijaj bil Qodar karangan Ibnu Taimyah hal. 36], Asy-Syaukani [Fathul Qodir karangan Asy-Syaukani I/275], Al-Qurthubi [Tafsir Al-Qurthubi II/331] dan sekumpulan ulama’ pada berbagai masa. [Ahammiyatul Jihad hal. 147-149].
Bahkan beberapa ulama’ telah menyatakan bahwa mansukh-nya hukum-hukum jihad sebelum hukum yang terakhir adalah merupakan ijma’ para ulama’. Shodiq Hasan Al-Bukhori mengatakan: “Adapun riwayat tentang berdamai dan meninggalkan orang-orang kafir apabila mereka tidak memerangi, hal itu telah mansukh atas ijma’ [kesepakatan] seluruh kaum muslimin”. [Ahammiyatul Jihad hal. 147-149]
Ibnu Jarir Ath-Thobariy ketika menafsirkan ayat :
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا يَغْفِرُوا لِلَّذِينَ لاَيَرْجُونَ أّيَّامَ الله
ِ
“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah……” [Al-Jatsiyah: 14]
Beliau berkata, ”Ayat ini telah mansukh dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik sesuai dengan ijma’ [kesepakatan] ahlu at-takwil atas hal itu”. [Tafsir Ath-Thobariy XXV/144, Darul Fikr, Beirut sebagaimana dinukil dalam kitab Marohilu Tasyri’ al-Jihad].
Abdul Akhir Hammad menukil perkataan Asy-Syaukani dalam kitab As-Sail al-Jarror V/519:
“Menyerang orang-orang kafir dan ahli kitab serta membawa mereka masuk kepada agama Islam atau membayar jizyah atau bunuh, hal ini merupakan perkara yang sangat jelas dalam agama … Adapun tentang meninggalkan dan membiarkan mereka jika mereka tidak memerangi, hal ini adalah sudah mansukh secara ijma’”. [Tahdzib Syarh al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 360-361].
Para Ulama’ yang Tidak Me-mansukh-kan Tahapan-Tahapan itu.
Namun demikian ada sebagian mu’ashirin yang menyatakan bahwa hukum-hukum jihad dan tahapan-tahapan penetapan syari’atnya tidaklah mansukh, tetapi semua hukumnya adalah muhkamah yang wajib untuk kita laksanakan dalam keadaan dan kondisinya sesuai dengan keadaan dan kondisi RasululLah shallalLaahu ‘alayhi wa sallam. Di antara mereka adalah Muhammad Rosyid Ridlo dalam kitabnya Tafsir Al-Manar X/166 dan Az-Zarqoni dalam Manahilul ‘Irfan II/150 sebagai mana yang dikatakan oleh pengarang kitab Marohilu Tasyri’ al-Jihad.
Kemudian dari pemahaman ini sebagian mu’ashirin berpendapat bahwa kenyataan kita pada hari ini adalah seperti keadaan kaum muslimin di masa Makkah, sehingga kita harus bersabar dengan ulah orang-orang kafir dan tidak boleh melakukan peperangan. Dalam hal ini tidak ada yang mereka ikuti kecuali pendapat Az-Zarkasyi dalam kitabnya Al-Burhan fii ‘Uluum al-Qur’an II/41-42 dan As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqon fii ‘uluum al-Qur’an III/66. [Marohilu Tasyri’ al-Jihad]
Berikut inilah pernyataan Az-Zarkasyi yang menyatakan bahwasanya tahapan-tahapan jihad tidak mansukh, akan tetapi tahapan-tahapan tersebut tetap dilaksanakan sesuai dengan keadaan pada waktu tahapan tersebut disyariatkan. Dan beliau mencela terhadap orang yang menyatakan bahwa tahapan-tahapan tersebut telah mansukh :
”Dan sebagian ulama’ membagi nasakh itu menjadi tiga macam:……
ketiga : sesuatu diperintahkan dikarenakan oleh suatu sebab, lalu sebab itu hilang. Seperti ketika dalam keadaan lemah dan berjumlah sedikit diperintahkan untuk bersabar dan memaafkan orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhir dengan tidak melakukan amar ma’ruf, nahi munkar, jihad fii sabiilillah dan yang lain, kemudian di-nasakh dengan perintah untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan yang lainnya.
Sebenarnya ini bukanlah nasakh, akan tetapi nasii’ [perintah untuk meninggalkan] sebagaimana yang difirmankan Alloh: [ أو ننسها ] sedangkan mansa’-nya [yang diperintahkan untuk ditinggalkan] adalah perintah perang sampai kaum muslimin menjadi kuat.
Dan ketika dalam keadaan lemah, hukum yang berlaku adalah wajib sabar menanggung gangguan. Dengan demikian, maka jelaslah kelemahan pendapat sebagian dari para mufassirin pada ayat yang memberikan keringanan bahwasanya ayat tersebut telah di-mansukh oleh ayatus-saif [secara bahasa artinya ayat-ayat pedang, maksudnya ayat-ayat yang memerintahkan untuk berperang], padahal sebenarnya tidaklah mansukh akan tetapi mansa’ [keadaan], yang berarti suatu perintah yang dikarenakan suatu sebab tertentu pada suatu masa yang mengharuskan untuk memberlakukan hukum tersebut kemudian berganti kepada hukum yang lain kerena penyebabnya telah berubah. Ini bukanlah nasakh, karena nasakh adalah menghapuskan sebuah hukum sehingga hukum tersebut tidak boleh dilaksanakan selamanya”. [Al-Burhan karangan Az-Zarkasyi II/37]
ketiga : sesuatu diperintahkan dikarenakan oleh suatu sebab, lalu sebab itu hilang. Seperti ketika dalam keadaan lemah dan berjumlah sedikit diperintahkan untuk bersabar dan memaafkan orang-orang yang tidak beriman dengan hari akhir dengan tidak melakukan amar ma’ruf, nahi munkar, jihad fii sabiilillah dan yang lain, kemudian di-nasakh dengan perintah untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, jihad dan yang lainnya.
Sebenarnya ini bukanlah nasakh, akan tetapi nasii’ [perintah untuk meninggalkan] sebagaimana yang difirmankan Alloh: [ أو ننسها ] sedangkan mansa’-nya [yang diperintahkan untuk ditinggalkan] adalah perintah perang sampai kaum muslimin menjadi kuat.
Dan ketika dalam keadaan lemah, hukum yang berlaku adalah wajib sabar menanggung gangguan. Dengan demikian, maka jelaslah kelemahan pendapat sebagian dari para mufassirin pada ayat yang memberikan keringanan bahwasanya ayat tersebut telah di-mansukh oleh ayatus-saif [secara bahasa artinya ayat-ayat pedang, maksudnya ayat-ayat yang memerintahkan untuk berperang], padahal sebenarnya tidaklah mansukh akan tetapi mansa’ [keadaan], yang berarti suatu perintah yang dikarenakan suatu sebab tertentu pada suatu masa yang mengharuskan untuk memberlakukan hukum tersebut kemudian berganti kepada hukum yang lain kerena penyebabnya telah berubah. Ini bukanlah nasakh, karena nasakh adalah menghapuskan sebuah hukum sehingga hukum tersebut tidak boleh dilaksanakan selamanya”. [Al-Burhan karangan Az-Zarkasyi II/37]
Kesimpulan:
Ibnu Taimiyah berkata,
“Bila kaum musimin yang berada disuatu tempat atau pada suatu zaman lemah hendaklah mereka beramal dengan ayat Shabar dan berpaling dari musuh-musuh Allah dan Rosul_Nya, Akan tetapi bagi mereka yang memiliki kekuatan hendaklah mereka beramal dengan ayat Qital” [As-Shorim al-Maslul, Ibnu Taimiyah 221]
Ibnu Taimiyah berkata,
“Bila kaum musimin yang berada disuatu tempat atau pada suatu zaman lemah hendaklah mereka beramal dengan ayat Shabar dan berpaling dari musuh-musuh Allah dan Rosul_Nya, Akan tetapi bagi mereka yang memiliki kekuatan hendaklah mereka beramal dengan ayat Qital” [As-Shorim al-Maslul, Ibnu Taimiyah 221]
Beliau telah memberikan penjelasan yang sangat baik, yakni mengambil jalan tengah dari perbedaan. Namun demikian, jika ada yang berkata bahwa ketika dalam keadaan lemah kita harus kembali secara mutlak pada hukum larangan untuk berperang bahkan dilarang juga untuk melakukan i’dad al-quwwah, apalagi mengatakan bahwa melakukan i’dad berarti mengundang para thoghut untuk memerangi ummat Islam, pendapat ini bukan merupakan salah satu dari pendapat yang dijelaskan di atas. Ini pendapat me-Nihil-kan jihad yang tidak dikenal sepanjang sejarah kehidupan ummat Islam.
Walloohu Ta'ala A'lam
Sumber : Maktab Kajian Tauhid